all about Architecture, Urban design, Social Life and many more

all about Architecture, Urban design, Social Life and many more
Taman Sari Picture

Selasa, 26 Februari 2013

Semangat Dalam Menyelesaikan Tesis Strata Dua

                           Oleh : Ratih Dyah Annissa Perwitasari Sayekti, S.T., M.T

Dear Blog,
saya ingin berbagi pengalaman saya dalam menyelesaikan studi 1,4 bln saya di Pascasarjana UAJY.
Awalnya saya belum bisa menentukan apakah saya akan mengambil topik penelitian Psikologi Arsitektur ini di Lokus Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan atau mengambil topik riset kuliah PPAK (kuliah strata satu) di Lokus dekat Jalan Malioboro. Berhari-hari saya merenung dan berpikir, apakah topik tersebut sekiranya cocok untuk di jadikan Proposal Tesis ?
Untuk kesekian kalinya saya riset dan survey berhari-hari di dua Lokus yang berbeda tersebut. Saya mencoba melakukan study apakah sudah cocok atau masih kurang dalam memperoleh data-datanya. Saya sudah tidak meragu lagi untuk yang satu ini, saya memilih Lokus pertama. Mengapa ?
Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan lokasi tersebut, antara lain :
1. Surat ijin penelitian dari Universitas terkait
    Surat ijin ini sangatlah penting dalam membantu saya dalam melakukan proses perijinan di berbagai instansi Pemerintah dan Dinas-dinas terkait, baik Kecamatan dan Kantor Kalurahan. Bisa disebut Surat "Ajaib" lah, teman-teman. Kalau ada koneksi orang dalam juga turut membantu untuk mempercepat proses perijinan. Tapi karena saya tidak memiliki koneksi, alhasil, sabarlah dalam melakukan proses-proses perijinan yang membuat kita terkadang harus bolak-balik, namanya juga sesuai dengan prosedural. Jangan lupa untuk di buatkan copyan surat ijin penelitian dan cap dari Universitas/Instansi terkait, berguna bagi halaman lampiran Tesis nantinya.
2. Menunggu Data dan Orang Penting
    Data-data penelitian, baik data primer dan data sekunder. Data primer adalah data-data yang kita peroleh dan kita olah di lapangan, sedangkan data Sekunder adalah data-data berupa data angka, data pustaka, data -data instansi pemerintah yang tentunya ada kaitan dengan topik riset tesis kita. Ternyata untuk memperoleh beberapa data penunjang memang tidaklah mudah. Faktor cuaca ekstrim, panas dan hujan tiba-tiba memang membuat galau hati para Researchers, haha. . Biasanya kalimat dihati itu, " yah, hujan..aduh panas bgt sih, lama bangetttt.....bolak-balik lagi, , " Kalimat-kalimat yang super galau deh. Lalu kemudian orang penting disini yang dimaksud adalah orang-orang yang berhubungan dengan riset kita, misal staf dinas terkait atau staf kelurahan, dukuh, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh data riset dengan mudah, intinya hanya SABAR, Sabar dan sabar. Just do it. Pasang muka senyum  walaupun kita lama menunggu. Sikap semacam ini sebagai bentuk melatih kesabaran kita.
3. Olah Data 
    Olah data di Lapangan adalah salah satu cara supaya saat para responden/sampel yang kita jadikan penelitian ini lengkap tanpa suatu kekurangan nantinya. Tak lupa, apabila saat wawancara bubuhkan juga pada kuisioner yang dilihat, tambahan catatan dari tanya jawab responden dengan peneliti di lapangan. Dan bila kemampuan olah data dalam menggunakan program SPSS masih kurang, kita masih bisa menggunakan MS.Excel.
4. Metode Penelitian
    Ada begitu banyak referensi pustaka yang berhubungan dengan Metode Penelitian, baik Kualitatif, Kuantitaif atau keduanya. Cek, cek dan cek apakah Metode Penelitian yang digunakan sudah tepat dan sesuai dengan Tema Tesis/riset yang diambil. Apabila referensi pustaka yang ada diPerpustakaan Kampus masih belum lengkap, cobalah Anda cari di Perpustakaan Samsat kota Yogyakarta. Bisa jadi referensi pustaka tersebut ada, atau carilah pustaka tersebut di Perpustakaan Universitas di Yogya/sekitar Yogya. "Demi Tesis, akan saya lakukan apa saja .." Tanamkan itu dalam benak kita sehari-hari. Insyaallah, di mudahkan usaha dan jalan Anda dalam menyelesaikan Tugas Akhir Anda. Cobalah.
5. Semangat
     Kata 'semangat' selalu ada di tiap langkah saya dalam menempuh Tesis saya ini. Tak pernah lupa, saya selalu menyemangati diri saya dan melihat kembali apa yang telah selama ini saya peroleh, adalah hal yang sangat Mujarab. Ini seperti sebuah suntikan semangat, sebuah aliran semangat baru yang tentunya tak lupa doa dan dukungan dari orang-orang terdekat.

Kelima point yang sudah saya utarakan melalui blog saya ini, tentunya di harapkan bisa dijadikan referensi Anda yang sedang melanjutkan Prodi Strata 2 atau yang akan menyelesaikan Tugas Akhir Anda dengan sukses.
Selamat Mencoba.


“ ASAL-USUL SEJARAH ORANG TIONGHOA “


Asal-usul sejarah

                Sebelum kedatangan orang-orang Portugis di Indonesia pada tahun 1511, Orang Tionghoa lebih dulu  berlayar dari Tiongkok Selatan ke Pulau Jawa. Menurut Peter Carey (1985: p.86), mengatakan bahwa awal abad ke -14 telah ada pemukiman koloni orang-orang Tionghoa di pinggir pantai Pulau Jawa. Kedatangan orang Tionghoa di Pantai Timur Laut Jawa Tengah adalah awal pusat perdagangan di Asia Tenggara, salah satunya adalah Indonesia. Pedagang-pedagang Tionghoa membawa porselen dan sutra untuk kemudian ditukar dengan bahan makanan mentah, berupa beras dan hasil pertanian lainnya. Pecinan adalah sebutan bagi pemukiman orang Tionghoa.
            Seiring berjalannya waktu hingga pada abad ke 15, penyebaran agama Islam dilakukan oleh pedagang Pribumi dan Raden Patah mulai mendirikan kerajaan Kesultanannya. Hingga tahun 1595-1596, orang Belanda berlayar melewati Semenanjung Harapan di Afrika Selatan, dengan membeli rempah-rempah dan membawa hasil rempah tersebut ke negara Eropa. Lalu kemudian orang Belanda mendirikan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1602  di Ambon, dengan meluasnya area jajahan yang dikuasai oleh Belanda, maka diputuskanlah kota Jayakarta (sekarang Jakarta) menjadi Markas Batavia.
            Awal abad ke 19, VOC bangkrut, sebagai gantinya Belanda mendirikan Pemerintahan Hindia-Belanda dengan ibukota Batavia. Tahun 1740, Pemerintah Belanda melakukan larangan bagi para Imigran Tiongkok untuk datang ke Indonesia, dan merekka segera dideportasikan ke Ceylon dan Semenanjung Harapan.  Orang-orang Tionghoayang datang ke Indonesia melalui Tiongkok Selatan ke Pulau Jawa, adalah orang-orang yang tidak puas karena Rezim Ching dari Dinasti Manchu. Akibat buruknya perlakuaan tentara Belanda terhadap kaum Tionghoa kala itu, mereka  pun pindah ke wilayah Timur Laut Jawa Tengah.
Menurut Raffles (1988: p.62), dikatakan bahwa pada awal abad ke 19, populasi orang Tionghoa di TimurLaut Jawa Tengah tidak melebihi 4.819 jiwa yang tersebar di delapan kabupaten.  Jumlah ini sama dengan 0,98% dari populasi penduduk keseluruhan. Dan menurut  G. William Skinner (1979: p.7), di delapan kabupaten ini terdapat sebelas pecinan. Hampir semua orang Tionghoa pada waktu itu adalah kelompok Hokkien yang datang dari Provinsi Fukien.
Persaingan perdagangan juga mulai memanas, mana kala pihak Belanda menjadi pihak golongan kelas atas, orang Tionghoa golongan kelas menengah bawah dan Orang Pribumi menempati kelas menengah bawah. Hal inilah yang memicu persaingan antar Orang Pribumi dengan Orang Tionghoa yang menjadikan Belanda sebagai mitra dalam perdagangan Candu. Muncullah kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1912.
Keadaan mulai berubah mana kala Indonesia merdeka pada tahun 1945, tepatnya pada tanggal 17 Agustus. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi para tentara Belanda yang tinggal di Indonesia, apakah mereka akan kembali ke negara asal mereka, atau tetap tinggal di Indonesia menjadi warga negara. Tentara Belanda memilih kembali ke Negara Belanda. Bangunan-bangunan kolonial Belanda mulai diambil oleh Pihak Pemerintah Indonesia dan dipergunakan sebagai bangunan kantor pemerintahan, bangunan militer, bangunan sekolah dan yang lainnya dibiarkan kosong begitu saja.
Kondisi Orde Baru ini menguntungkan pihak Tionghoa yang mengambil alih perdagangan pihak Belanda, termasuk perdagangan ekspor dan impor, berasimilasi dengan kebudayaan penduduk Pribumi. Menurut Joel Kotkin (1993: p.180)  dikatakan dalam bukunya “Tribes, How Race and Relogion, and Identity Determine Success in the New Global Economy” , bahwa pada awal tahun 1990-an jumlah ornag Tionghoa mencapai 5% dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Tetapi jumlah yang kecil ini menguasai aset ekonomi nasional sebesar 75% dan Pecinan selalu menjadi pusat kota dimana daerah perdagangan berada.

Sumber Pustaka :
Carey, Peter. 1985. Orang Jawa dan Masyarakat Cina. Jakarta : Pustaka Azet.
Kotkin, Joel. 1993. Tribes, How Race and Relogion, and Identity Determine Success in
         The New Global Economy. New York : Random House.
Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta :
         Penerbit Ombak.
Raffles, Thomas Stanford. 1988. The History of Java. Singapore : Oxford University
         Press.
Skinner, G. William. 1979. Golongan Minoritas Tionghoa. Jakarta :  Leknas-LIPI dan
         Yayasan Obor Indonesia.